Film The Order 2024 merupakan sebuah film genre crime dari kisah nyata , besutan sutradara berbakat Justin Kurzel. Sejak awal dirilisnya informasi terkait proyek ini, publik telah menaruh ekspektasi tinggi mengingat track record Kurzel dalam menciptakan drama intens dan adegan penuh ketegangan. Nama besar Jude Law, Nicholas Hoult, dan Tye Sheridan juga menambah bobot antisipasi film ini. Apalagi, materi cerita yang diadaptasi oleh Zach Baylin ini berfokus pada serangkaian perampokan bank dan pencurian mobil di Pacific Northwest sekitar tahun 1983.
Kita mungkin bertanya, apa sih yang membuat The Order pantas dibicarakan? Pertama, film ini menyingkap sisi kelam terorisme domestik di Amerika Serikat pada era 1980-an, ketika aparat penegak hukum kerap dipusingkan oleh bermacam tindak kejahatan terorganisir. Kedua, film ini menunjukkan bagaimana fanatisme serta ekstremisme bisa berkembang menjadi ancaman serius bagi keselamatan masyarakat, termasuk rencana “perang” yang menghancurkan melawan pemerintah federal. Ketiga, The Order menjadi wadah bagi para aktor kawakan menampilkan kemampuan terbaik, khususnya Jude Law sebagai agen FBI Terry Husk dan Nicholas Hoult sebagai pemimpin radikal, Bob Mathews.
Yang membuat film ini menarik adalah pendekatannya yang realistis—ini bukan sekadar cerita fiksi biasa. Disutradarai dengan riset mendalam, banyak aspek historis tahun 1983 yang digambarkan, termasuk suasana sosial-politik, desain kostum, gaya kendaraan, hingga perilaku masyarakat. Ada nuansa “jadul” yang menampilkan telepon koin, pakaian ala tahun 80-an, sampai musik latar yang sesuai periodenya. Semua kemasan ini ditujukan untuk membawa penonton benar-benar menyelami atmosfer masif ketegangan.
Juga menunjukkan ambisi para karakter, terutama agen FBI Terry Husk yang pantang menyerah. Ketika penonton menyaksikan bagaimana Husk mengejar dalang kejahatan, kita sekaligus mengikuti pergulatan batin sang agen: apakah kepercayaannya pada sistem akan membuat ia menutup mata terhadap motif yang lebih dalam, atau justru menggali kebenaran meski harus menabrak batas formal? Terkadang, drama ini diselingi adegan-adegan yang menegangkan dan mengejutkan, terutama di momen perampokan bank.
Di satu sisi, penonton disuguhi proses penyelidikan penuh lika-liku. Di sisi lain, kita juga melihat bagaimana gerakan radikal bisa berujung kepada tindakan kriminal terkoordinasi, bukan sekadar gerombolan acak. Bob Mathews (Nicholas Hoult), pemimpin kharismatik yang diyakini agen Husk sebagai otak dibalik rangkaian aksi kejahatan, adalah sosok yang menjadi magnet bagi para anggota. Ia meyakinkan mereka bahwa pemerintah telah gagal dan perlu dijatuhkan.
Melalui peran Mathews, kita dapat melihat fenomena cuci otak (brainwashing) dalam konteks terorisme domestik: bagaimana ajaran kebencian dan rasisme bisa termanifestasi di lapangan. Dalam The Order, setiap adegan dirancang untuk menunjukkan betapa mudahnya orang-orang yang frustasi dengan kondisi ekonomi dan sosial untuk terjerumus dalam indoktrinasi radikal.
Bukan hanya segi cerita, film berdurasi 116 menit ini juga patut diacungi jempol dari segi teknis. Gaya penyutradaraan Justin Kurzel yang menyukai pengambilan gambar gelap, pencahayaan remang, dan intensitas musik latar turut memupuk suasana mencekam. Kita pun disuguhi alunan soundtrack yang menggugah rasa tidak nyaman, seakan menegaskan ancaman nyata yang sedang berlangsung.
Jika Anda menyukai film-film bernuansa investigasi, penelusuran jejak kriminal, dan thriller yang sarat akan pesan sosial, The Order layak masuk daftar tontonan. Selain menghadirkan aksi mendebarkan, film ini juga menyuntikkan sensibilitas emosional yang kuat. Karakter utama—agen FBI, pemimpin radikal, hingga kaki tangannya—ditampilkan dengan konflik internal masing-masing. Hal tersebut menciptakan kedalaman cerita yang memikat.
Secara keseluruhan, pengantar ini membawa kita pada satu kesimpulan awal: The Order bukan hanya sekadar film kejahatan biasa. Ada kritik sosial, penelusuran historis, dan perenungan tentang bagaimana fanatisme dapat menggerakkan sekelompok orang melakukan aksi teror. Drama pengusutan FBI di tengah maraknya supremasi kulit putih juga menjadi cerminan tajam bagi kita untuk memahami betapa isu-isu ekstremisme masih relevan hingga kini. Dan pada akhirnya, kesanggupan film ini memuat banyak lapis makna menjadikannya tontonan kaya perspektif.
Mari kita lanjutkan dengan membedah sisi teknis, naratif, karakterisasi, dan respons publik terhadap film ini dalam subtopik berikutnya.
Latar Belakang Produksi
Proses pembuatan film The Order tidak terlepas dari visi sutradara Justin Kurzel yang dikenal handal dalam menggarap film-film berat bermuatan tema kontroversial. Ia tercatat pernah menyutradarai beberapa karya bernuansa serupa, memperlihatkan ketertarikannya pada cerita berlapis yang mengetengahkan potret kebejatan moral, kekerasan, dan dampaknya pada masyarakat. Di sinilah benih keunggulannya sebagai kapten proyek, terutama saat harus menangani naskah adaptasi Zach Baylin.
Zach Baylin, penulis yang pernah terlibat dalam proyek bergengsi, menghadirkan kisah The Order dengan landasan kuat: sebagian ceritanya diilhami oleh peristiwa nyata di Pacific Northwest tahun 1983. Keterlibatan Baylin dalam menulis naskah ini tak lain karena kekagumannya pada riset dokumenter tentang kelompok teroris domestik di Amerika Serikat, khususnya mereka yang termotivasi ideologi supremasi kulit putih. Upaya Baylin dalam mengangkat isu ini diharapkan akan menambah wawasan publik tentang betapa rapuhnya stabilitas sosial ketika keyakinan radikal merajalela tanpa penanganan tepat.
Sebelum proses syuting dimulai, tim produksi melakukan penelitian menyeluruh mengenai latar belakang kejadian di tahun 1983. Mereka mewawancarai mantan agen FBI, meninjau arsip media cetak, serta menelusuri catatan kepolisian mengenai kasus perampokan bank dan pencurian mobil di wilayah Pacific Northwest. Penulis naskah juga tak segan mendatangi lokasi-lokasi terkait untuk memahami medan geografi, kondisi jalan, hingga nuansa khas era tersebut. Dengan demikian, hasil akhirnya diharapkan memberi sentuhan realistis: ketika penonton menyaksikan adegan-adegan di dalam film, mereka merasakan suasana tahun 1983 yang akurat.
Dari segi teknis, produksi film ini melibatkan tim yang serius dalam menciptakan set. Mereka membangun ulang beberapa lokasi semirip mungkin dengan situasi aslinya, termasuk kantor FBI era 1980-an—lengkap dengan komputer kuno, telepon kabel, dan tumpukan dokumen kertas. Kendaraan-kendaraan yang digunakan para tokoh pun diseleksi ketat, sehingga tampak seakan kita sedang menonton rekaman langsung pada tahun itu. Semua detail tersebut penting karena The Order menekankan kesan dokumenter fiksi, di mana kisah drama berpadu dengan realitas sejarah.
Kerja sama antara sutradara Justin Kurzel dan para aktor menjadi kunci keberhasilan film ini. Jude Law, sebagai bintang kawakan, tak jarang mengajukan ide untuk memperkuat emosi karakter Terry Husk. Ia dilaporkan mendalami latar belakang agen FBI nyata yang pernah terlibat memburu kelompok kriminal dengan motif terorisme. Ia pun melakukan observasi intens dan meniru gestur, pola bicara, serta etos kerja agen lapangan.
Sementara itu, Nicholas Hoult, yang kali ini berperan sebagai Bob Mathews, dituntut menonjolkan sisi manipulatif dan radikal. Ia perlu mendalami psikologi pemimpin sekte atau gerakan terorisme domestik, termasuk cara mereka meyakinkan para pengikut. Hoult disebut-sebut juga menonton beberapa rekaman dokumenter tentang propaganda supremasi kulit putih untuk mendapat gambaran tentang ekspresi wajah, gaya bicara, dan bahasa tubuh seorang tokoh fanatik.
Proses syuting diwarnai tantangan tak terduga. Beberapa lokasi syuting di luar ruangan ternyata membutuhkan penanganan logistik yang tak sederhana, terutama saat harus menggambarkan adegan perampokan bank. Tim perlu mengatur perizinan, keselamatan kru, dan menghadirkan kondisi jalan yang menegangkan tanpa mengganggu warga sekitar. Belum lagi, adegan pengejaran mobil yang mengharuskan koordinator stunt menyiapkan serangkaian rute dan kendaraan khusus. Setiap kali pengambilan gambar untuk adegan aksi ini, tim harus memastikan sisi keamanan bagi pemeran dan kru.
Lahirnya The Order bukan hanya soal memproduksi film berdurasi 116 menit yang menegangkan, tapi juga upaya serius untuk merangkum problem sosial yang kerap diabaikan. Besar harapan, dengan adanya pendekatan sinematik ini, masyarakat dapat lebih memahami bahwa terorisme domestik memiliki akar sejarah panjang—dan tidak semata-mata muncul dalam bentuk ledakan besar atau aksi tunggal. Melalui film ini, Justin Kurzel ingin mengingatkan kita bahwa bibit kebencian dan ekstremisme dapat tumbuh di mana saja, memanfaatkan situasi tidak stabil untuk menyebar ideologi berbahaya.
Baca Juga : Film Devils Stay , Horor Korea Dengan gaya Exorcism Ala Barat
Dari sisi artistik, kolaborasi antara penata kamera, penata suara, dan penata musik juga tidak bisa dianggap remeh. Mereka meramu pencahayaan redup, kontras warna film vintage, serta scoring yang perlahan semakin menekan intensitas ketegangan. Gambaran mobil tua berseliweran di jalan-jalan sempit, dan suara sirene polisi yang memecah keheningan malam, mempertebal sensasi “kejar-kejaran”.
Pada akhirnya, latar belakang produksi The Order bisa dikatakan amat solid dan terancang. Setiap elemen, mulai dari riset, pemilihan aktor, desain set, hingga pendekatan sinematik, saling mendukung satu sama lain. Semua upaya ini dijalankan demi menghadirkan pengalaman menonton yang bukan hanya seru, tapi juga informatif. Membiarkan kita merenung bahwa setiap kasus kejahatan terorganisir, terlebih dengan landasan ideologi rasis atau anti-pemerintah, tidak bisa dipandang sebelah mata. Inilah yang membuat film ini relevan, meski latar waktunya sudah berlalu lebih dari empat dekade.